Pages

Kamis, Oktober 16, 2014

Shale Gas: Asa Baru Sumber Energi Pembangkit Listrik Indonesia


Teringat suatu joke yang isinya kira-kira seperti berikut ini :
Facebook/Twitter : Saya kenal semua orang
Google : Lah, aku tahu segalanya
Chrome/Firefox/Opera : Tanpa gua, kalian gak akan bisa kebuka
Laptop/PC/Mobile/Ipad : Emang kalian bisa apa tanpa ane
Listrik : Diam gak, atau gue matiin ni !

Joke di atas menunjukkan bagaimana peran listrik sangat signifikan di kehidupan masyarakat saat ini. Pernah kebayang gak, sedang enak-enaknya nonton bola di stadion, tiba-tiba listrik mati. Sedang tegang-tegangnya ngetik tugas akhir, tiba-tiba listrik mati, belum sempat ke save lagi. Malam hari, anak-anak di pelosok desa, harus ngerucutin retinanya waktu lagi belajar, remang-remang gak dapat pasokan listrik atau listriknya sudah berhari-hari gak nyala.

Socrates pernah bilang, ‘semua orang itu pada dasarnya mempunyai niat baik’, karena itu saya percaya, semua kisah pilu di atas bukanlah sesuatu yang disengaja, hanya suatu proses yang harus dilalui, menuju ke arah yang lebih baik.

Apalagi menuju pasar bebas yang sebentar lagi akan di mulai, listrik akan menjadi salah satu pilar pendukung lancarnya era tersebut. Sebagai negara yang bermartabat, tentu kita harus memberikan jaminan kepada semua investor dan masyarakatnya sendiri akan ketersediaan dan kelancaran aliran listrik. PLN yang diberi mandat sebagai perusahaan negara yang mengurus listrik nasional, punya pekerjaan besar untuk menjawab tantangan globalisasi ini.

Berdasarkan apa yang saya ketahui, masalah mendasar dari ketersediaan listrik ini adalah energi. Jangankan listrik, manusia tanpa energi tidak akan bisa berbuat banyak. Soekarno pernah bilang ‘gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenangnya’.

Sebanyak 12% sumber pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak (Kasub. Direktorat Harga dan Subsidi Listrik Dirjen. Ketenagalistrikan Kementerian ESDM). Adapun menurut Bapak Alm. Widjajono Partowidagdo (eks Wamen ESDM), Indonesia itu bukan negara kaya minyak, namun negara yang lebih memiliki energi lain, seperti batubara, gas, CBM, panas bumi, air, dan BBN. Dapat dilihat kondisi sekarang, bagaimana harga minyak menjulang tinggi. Cadangan minyak (konvensional) Indonesia semakin menipis. Sekiranya kita tidak menemukan inovasi baru dalam eksplorasi minyak, maka ramalan ’10 tahun lagi minyak kita akan habis, akan menjadi kenyataan’.

Sisi baiknya, PLN sudah mulai menyadari permasalahan cadangan minyak Indonesia ini. Dimana PLN mulai mengoptimalkan pembangkit listrik dengan menggunakan energi batubara (PLTU), selain juga mulai memberdayakan energi baru dan terbarukan, seperti geothermal, mikrohidro, sel surya, dan sebagainya.

Menurut saya ada salah satu alternatif lagi yang dapat dijadikan sebagai energi alternatif pembangkit listrik (PLTGU), yaitu shale gas, selain juga CBM. Shale gas di Indonesia memang belum proven, masih dalam tahap riset. Namun dengan bonus demography Indonesia, yang tumbuh 1.5% setiap tahunnya, dan kebijakan energi nasional yang akan menaikkan kapasitas pembangkit listrik sekitar 115 GW pada tahun 2025, serta ingin menurunkan peran dari minyak sebesar 25% dan menaikkan peran gas sebesar 22% pada tahun 2025, maka dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, shale gas di Indonesia dapat proven. Salah satu cerita sukses dari shale gas adalah shale Barnett, yang hingga saat ini telah menghasilkan 1 BCF per hari, dengan impact ekonomi yang dihasilkan dari eksplorasi dan produksinya mencapai 100 milyar USD.

Ada tiga alasan, mengapa shale gas menjadi potensial untuk dilirik di Indonesia ? 
Pertama, banyaknya sebaran batuan induk shale yang ada di basin Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1 di bawah ini :
 
Gambar 1. Distribusi Potensi Shale Gas pada Basin di Indonesia (Badan Geologi KESDM dalam Sukhyar dan Fakhruddin, 2013)

Kedua, efek resourcesnya : 
Gambar 2. Produksi Gas Versus Convensional dan Unconvensional Gas (Halliburton dalam Naslin, 2012) 

Berdasarkan Gambar 2 di atas, terlihat bahwa produksi gas dari shale gas melonjak melebihi produksi gas dari CBM, apalagi dari gas convensional. Jumlah cadangan gas dari shale gas (574 TCF) di Indonesia lebih besar dibandingkan cadangan gas dari CBM, yaitu 453,3 TCF, dan dari gas bumi (gas konvensional), yaitu 334,5 TCF (Pertamina, 2013). 

Ketiga, market gas dunia. Menurut Perez (2013) kebutuhan gas dunia pada tahun 2010 sampai 2035 mencapai pertumbuhan 50%. Dimana EIA memperkirakan jumlah cadangan shale gas dari empat tempat di dunia adalah 671 TCF. Dengan kebutuhan gas dunia yang begitu besar, dan perkiraan cadangan shale gas sebesar itu, yang hanya dihasilkan dari empat tempat di dunia, tentu negara-negara lain akan tergiur untuk melakukan eksplorasi shale gas. Data dari Halliburton (dalam Naslin, 2011) tentang pasar gas di Asia Tenggara, menunjukkan gap antara pemasukan dan permintaan gas, dimulai pada tahun 2012, dan gap nya bertambah semakin besar, setiap tahunnya (Gambar 3).
Gambar 3. Grafik Peluang Pasar Gas di Asia Tenggara (Halliburton dalam Naslin, 2011)

Sekilas Tentang Shale Gas 
Shale gas merupakan gas alam yang terbentuk dan terjebak di dalam formasi serpih dalam bentuk free gas dan adsorbed gas (Gambar 4 dan Gambr 5). Secara umum potensi shale gasnya dipengaruhi oleh nilai TOC, Maturity, dan Fracability pada batuan induk shalenya.

Gambar 4. Outcrop dari Shale Gas (Maiullari, 2011)

 
Gambar 5. Tampilan Free Gas (Merah) dan Adsorbed Gas (Hijau) pada Mikroskop (Maiullari, 2011)

 
Gambar 6. Petroleum System Konvensional dan Unkonvensional Gas (Schlumberger dalam Mc Carthy et al, 2011) 

Dari Gambar 6 di atas terlihat bahwa, shale gas terletak pada batuan induk shale, yang berada pada kedalaman 6000-7000 ft, sehingga untuk mengeluarkan gasnya perlu menggunakan teknologi hydraulic fracturing. Dengan harga gas yang terus naik, walaupun teknologinya berbeda dengan gas konvensional dan lebih dalam, shale gas tetap ekonomis (Pertamina, 2013). 

Kesimpulan 
Kebijakan energi nasional yang dicanangkan pemerintah melalui DEN, menargetkan terpenuhinya penyediaan kapasitas pembangkit listrik sekitar 115 GW pada tahun 2020, dan 430 GW pada 2050. Kebijakan energi nasional juga mengharuskan tercapainya pemanfaatan listrik per kapita sekitar 2.500 KWh dan 7.000 KWh, dan tercapainya rasio elektrifikasi sebesar 85 persen pada tahun 2015, dan mendekati sebesar 100 persen pada tahun 2020.

Dengan target demikian maka shale gas akan menjadi salah satu alternativf untuk kelistrikan nasional, dan pelu dilakukan pendekatan secara serius, selain geothermal. Pemerintah melalui PT. Pertamina telah memulai pengembangan shale gas ini. Dimana pada bulan mei 2013, PT Pertamina Persero telah menandatangani kontrak PSC MNK yang dilakukan pada Forum Konvensi dan Pameran Asosiasi Perminyakan (IPA). Dipilihlah WK Sumatera Bagian Utara sebagai tempat perburuan pertama shale gas, dengan potensi shale gasnya sebesar 18.56 TCF. Targetnya adalah produksi dapat diperoleh pada tahun ke-7, setelah 6 tahun tahap eksplorasi perdana.

Saat ini, terdapat 7 Basin di Indonesia yang memiliki potensi shale gas, yaitu tiga di pulau Sumatera, yaitu Baong Shale di Sumatera Utara, Brown Shale di Sumatera Tengah, Gumai Shale di Sumatera Selatan dan Jambi, dua di Pulau Jawa seperti Banwuati Shale, dan satu di Papua. Riset dan eksplorasi pada batuan induk shale di Indonesia akan terus dilakukan, tidak hanya oleh perusahaan negara atau swasta, namun juga dilakukan oleh para akademisi, peneliti, dan kami mahasiswa.

Dengan gambaran singkat tentang shale gas tersebut, PLN seharusnya lebih optimis dan yakin untuk melakukan konversi pembangkit listrik tenaga diesel (BBM) ke BBG (BBGU). Perencanaan pembuatan pembangkit listrik tenaga gas-uap sudah selayaknya dimulai dari sekarang dan dibuat lebih banyak, sehingga ketika shale gas di Indonesia nanti telah proven, pembangkit listriknyapun siap. Bahkan jika memungkinkan, PLN memiliki blok shale gas sendiri, walaupun untuk hal ini, saya kurang tahu apakah PLN punya wewenang untuk melakukannya.

Saya percaya, persiapan dan perencanaan jangka panjang (visioner) yang matang telah disiapkan oleh PLN. Demikianlah ulasan singkat tentang ide untuk PLN pada blog ini. Semoga di usia PLN yang ke 69 ini, target yang telah dicanangkan oleh Pemerintah melalui DEN untuk PLN yang tertuang dalam KEN dapat berjalan sebagaimana mestinya, big planning PLN sendiri untuk listrik Indonesia dapat terwujud, cadangan listrik Indonesia meningkat, pelayanan PLN terus membaik, dan internal team building PLN semakin solid.


Referensi :
Maiullari, Giuseppe. 2011. Gas Shale Reservoir: Characterization and Modelling Play Shale Scenario on Wells Data Base. Italia: Politecnico de Torino.
Mc Carthy, Kevin., et al. 2011. Basic Petroleum Geochemistry for Source Rock Evaluation. USA: Schlumberger.
Mundakir, dkk. 2013. Berburu Migas Non Konvensional. PT. Pertamina: Energia.
Naslin. 2012. Introduction to Shale Gas Formation Evaluation. Jakarta: Halliburton.
Perez, Vinicio Suro. 2013. Shales Characterization for Hydrocarbon Production. Mexico: Instituto Mexicano del Petroleo.
Sukhyar, R dan Fakhruddin, R. 2013. Unconventional Oil and Gas Potential in Indonesia with Special Attention to Shale Gas and Coal Bed Methane. Indonesia: Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
…. .2014. Kebijakan Energi Nasional (KEN) Road Map Kebijakan Ketahanan dan Kemandirian Energi. Di akses di http://www.den.go.id/index.php/news/readNews/471 pada tanggal 15 Oktober 2014.