Pages

Sabtu, Juni 03, 2017

Memoar Sarjana Pendidikan (Ilustrasi)


Hari ini, Tepat beberapa tahun yang lalu dia berjalan gagah menuju tempat wisudanya. Tampak terlintas bayangan bahagia di pelupuk matanya akan masa depan yang cerah, bau surgawi yang akan menyambutnya. Bagaimana tidak, guru adalah profesi yang sangat dia cintai dan dambakan. Belum lagi, dia telah ditempa selama kurang lebih empat tahun, Dia dibekali ilmu mendidik dan ilmu mengajar, dengan segala suka dan duka yang menyertainya, dan berbagai ujian yang harus dilewatinya. Apalagi jika dia teringat dengan perjalanan yang dia lampaui dengan susah payah pada saat membuat “kitab suci”, dibawah bimbingan para “suhu” yang ahli di bidangnya.

Suara gemuruh perutnya, menyadarkan dia dari lamunan akan kenangannya. Tidak terasa, sudah dua ikat batu yang terpasang di bawah perutnya, untuk menahan dan menyangga perutnya yang lapar. Sudah hampir satu bulan ini, dia tidak memiliki cukup uang, untuk makan yang cukup, sehingga dia terbiasa puasa Daud. Uang dari honornya mengajar yang biasanya dia andalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan ketat, sudah lima bulan ini tidak turun. Iya, honornya yang berjumlah 500rb rupiah per bulan itu.

Dia kemudian teringat kembali dengan jumlah biaya yang dia keluarkan, saat menempuh pendidikan sarjana dahulu. Uang semester yang dihabiskan sebanyak 6juta rupiah (750rb rupiah per semester), uang pangkal 5juta rupiah, uang kosan 16juta rupiah (4juta rupiah per tahun), uang makan 29juta rupiah (sehari dua kali makan, sekali makan 10ribu rupiah), belum ditambah uang transportasi, dan biaya bahan dan alat perkuliahan (seperti buku, alat tulis, laptop, dan sebagainya). Harga yang tidak kecil tentunya.

Keadaan yang mengharuskannya bertemu dengan kondisi yang dialaminya saat ini. Bukan dia tidak ingin melakukan hal yang lebih, seperti merantau ke kota, atau berbisnis hal lain. Semua ini dilakukannya karena dia ingin mengabdi di desa, tempat kelahirannya, sambil mengabdi dan berbakti kepada kedua orang tuanya yang telah mulai menua. Dia ingin membuka bisnis sampingan, seperti jualan pulsa, token listrik, pakaian, alat-alat rumah tangga, dan sebagainya. Namun hati nuraninya terusik, dia khawatir bisnis tersebut akan mengganggu fokusnya dalam mendidik murid-muridnya yang sangat dia sayangi. Hal yang telah tertanam pada benaknya, semenjak dia mendapatkan materi pedagogic di bangku kuliahnya dahulu. Dia bisa juga membuka les privat, namun dia tidak tega untuk meminta bayaran, pada tetangga-tetangga di desanya, melihat kondisi ekonomi mereka yang juga tidak bisa dikatakan cukup.

Sampai di suatu waktu, akibat himpitan ekonomi, luruh idealismenya. Terbersitlah dipikirannya untuk berpindah profesi, meninggalkan profesi gurunya. Dia kemudian mencoba melamar menjadi staf dan karyawan di berbagai perusahaan di daerah tempat tinggalnya. Namun apa daya, dia selalu terjegal pada syarat administrasi. Tidak ada perusahaan di tempat tinggalnya, yang menerima lulusan dari jurusan pendidikan. Kalaupun ada, itu kerja di Bank, namun dia takut, hati nuraninya ragu tentang halal dan haram kerja di Bank.

Terpikir olehnya, mengapa jurusan lain seperti dari Teknik, Pertanian, dan sebagainya bisa melamar menjadi guru, ikut pendidikan profesi guru, sedangkan jurusannya tidak bisa melamar untuk posisi teknis atau ekonom di suatu perusahaan, (misalnya) dia jurusan pendidikan kimia atau pendidikan ekonomi, dia mau melamar untuk posisi teknik kimia atau akuntansi di suatu perusahaan, namun tidak bisa secara adinistrasi, akan tetapi sebaliknya (misalnya) jurusan teknik kimia atau akuntansi, bisa melamar untuk menjadi guru kimia dan guru ekonomi. Begitu rendahnyakah, bargaining position jurusan pendidikan ?. Itulah pertanyaan yang menyeruak dari kalbunya.

Dia berharap menjadi Guru PNS, namun jangankan untuk bisa ikut seleksi, lowongan dan formasinya saja tidak ada, “orang langit” bilang sedang moratorium. Sekalipun ada lowongannya, formasi yang diberikan sangat-sangatlah sedikit, tidak sebanding dengan lulusan sarjana pendidikan yang ada.

Sebetulnya, dia tidak berharap uang yang berlimpah banyak, yang dia harapkan adalah uang honor yang sewajarnya, untuk di pedesaan, 3juta rupiah per bulan itu sudah cukup, namun jika 500rb rupiah per bulan, itu tidak manusiawi, dzalim. Dengan 3jt rupiah per bulan tersebut, dia sudah bisa membantu, sekalian menanggung makan dia dan orang tuanya yang sudah renta.

Di sudut mushala sekolah itu. Diapun rebah bersujud, bersimpuh, dan kembali mengadu kepada Sang Pencipta, Sang Pemilik Alam Semesta, Sang Pemberi Rejeki, mengadu bagaimana dia merasa terdzalimi oleh kebijakan yang ada, dan memohon agar dikuatkan dirinya, supaya tetap bisa bersyukur dan bersabar.

Tetap Semangat, Para Arsitek Peradaban.
Semoga Pemerintah Melihatmu Para 'Guru Honorer'.
Jika Pemerintah Tidak Mengindahkanmu.
Sesungguhnya Allah Tidak Pernah Tidur.
Dan Selalu Melihat Apa yang Dikerjakan Hambanya.


(Terinspirasi dari Pengalaman Teman-Teman & Kondisi yang Saya Lihat di Lapangan)